Barometer Banten – Pada perhelatan diskusi terkait wacana menggali sejarah Banten selatan dan kisah Para Romusha yang jadi pekerja paksa pembangunan jalan kereta api di Banten selatan, ini digambarkan antara dua sisi makna, antara hasrat ambisi perang Asia-Pasifik dan heroisme para rlRomusha. Acara digelar oleh Sanggabuana Institute yang bertempat di Cafe Urban, Panggarangan, Minggu (14/08).
Dalam diskusi yang menghadirkan pembicara dari tokoh muda Banten Selatan Zey Aushof Yasir, peneliti sejarah dari Garda Muda Banten (Garmuba) Son Ghaha dan dari jurnalis Banten Pos (Banpos). Acara dipandu oleh moderator dari Sanggabuana Institute, Aldi Alfiansyah yang juga cucu dari salah seorang romusha di Lebak selatan.
Mengawali materi diskusi, Zey Aushof mengatakan akibat kekejaman penjajah Jepang banyak sekali korban kerja paksa yang mati kelaparan dan juga kekejaman penjajah terhadap kaum perempuan.
“Selain kekejaman secara manusiawi terhadap para pekerja romusha juga ada banyak pelecehan terhadap kaum wanita pribumi. Ada kisah seorang perempuan yang melawan para penjajah saat kejadian Romusha di Banten selatan ini, perempuan itu bernama Ratna yang membunuh tentara Jepang. Ratna mengambil keputusan yang tepat, membunuh tentara Jepang yang akan menggaulinya,” ungkap Zey.
Sementara peneliti sejarah Garmuba, Son Ghaha menjelaskan tentang duduk perkara terjadinya romusha adalah bagian dari sistem yang sudah terbangun pada kondisi saat itu dan juga situasi kebutuhan infrastruktur untuk menyuplai perang Asia-Pasifik untuk Jepang.
“Romusha itu adalah model para pekerja kontrak, kalau jaman sekarang bisa sejenis outsourcing. Mereka awalnya bekerja dengan sistem kontrak, untuk membantu kebutuhan pembangunan infrastruktur Jepang dan juga kepentingan perang Asia-Pasifik. Sementara kondisi saat itu, para pejuang pergerakan kemerdekaan masih satu konspirasi dengan Jepang untuk mengusir kaum penjajah Eropa di Asia. Dan Jepang mengimingi kemerdekaan bagi Indonesia. Bahkan Bung Karno dan Bung Hatta saat kunjungan ke Bayah pada 1943 sempat meminta para Romusha untuk mendukung kedatangan Jepang ke Indonesia. Ini kala itu sempat ditentang oleh Tan Malaka, yang kebetulan bekerja sebagai mandor tambang di Bayah,” ujar Son.
Dijelaskan Son, bahwa para Romusha di Banten Selatan ini kebanyakan dikirim oleh Jepang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Kebanyakan mereka mau dikirim jadi romusha karena iming-iming menggiurkan. Sebagian lagi ada juga yang karena mereka itu para tahanan Jepang yang diduga terindikasi KNIL. Sementara saat perang Pasifik berkecamuk, Jepang sangat kekurangan pasokan pangan, sehingga banyak para Romusha yang kekurangan jatah makan dan tak sedikit yang mati kelaparan sehingga sempat memicu bentrokan. Namun untuk warga pribumi di Banten Selatan Jepang tidak pernah melakukan aksi gaya perang atau menjadikan mereka pekerja paksa,” tutur Son.
Pada bagian lain, pembicara dari Banpos, Haidar Widodo menguraikan tentang muasal konsep rel Kereta Api dari Saketi ke Bayah itu sebagaimana rencana strategis (Renstra) yang sudah ada sebelumnya, yakni Renstra peruntukan untuk alat transportasi ekonomi, sumber daya alam dan ikan laut di wilayah Banten Selatan.
“Kalau yang saya tau dari informasi data di Bantenologi, bahwa pembangunan jalur kereta api dari Saketi ke Bayah ini sudah direncanakan sejak awal Tahun 1900 an, dan itu terdapat dalam desain konsep tim ahli dari Belanda, Yacob Derick, saat itu peruntukan bukan untuk transportasi hasil tambang. Namun untuk transportasi hasil laut dan juga perkebunan dari kawasan selatan. Jauh sebelumnya, kawasan selatan ini sudah jadi target investasi dagang Prancis yang saat itu kerjasama dengan Kesultanan Banten pertengahan Tahun 1700 an saat awal Eropa memasuki revolusi industri. Bahkan pada akhir Tahun 1700, Kesultanan Banten pernah punya pangkalan militer di Wanasalam,” terangnya.
Menurutnya, gagasan pengembangan jalur Kereta Api di Jawa tersebut mencuat paska terjadi Pemberontakan Geger Cilegon 1888 dan politik Etis akibat penderitaan program culturestelsel (tanam paksa).
“Pemberontakan petani di Banten atau yang dikenal dengan geger Cilegon ini salah satu riak perlawanan warga pribumi akibat politik Etis (balas Budi) yang hanya sedikit dirasakan manfaatnya oleh kaum pribumi di masa Gubernur Jendral Johannes van den Bosch pada 1830. Padahal sasaran politik Etis itu adalah Pengairan, Pendidikan dan Transmigrasi. Sehingga diharapkan rakyat pribumi mendapat kelayakan hak dari dampak kepedihan culturestelsel sebelumnya,” terangnya.
Hal lain dari Geger Cilegon ini, menurut data di Bantenologi, ujar Haidar, Belanda pun mengevaluasi politik Etis salah satunya dengan menginisiasi berbagai fasilitas infrastruktur transportasi yang lain agar ekonomi warga pribumi bisa di niagakan ke kota dengan mudah.
“Dari situlah pembangunan jalur kereta dari Batavia ke Merak pun dilakukan. Dan juga jalur lainnnya di Sumatera seperti Lampung ke Palembang, rel di Padang Panjang dan Medan. Dan untuk Renstra di Banten Selatan baru bisa direalisasikannya oleh Jepang di Tahun 1942 dengan tenaga kerja romusha. Dan sehubungan berbenturan dengan perang Asia-Pasifik kala itu, peruntukan kereta api di sini dipergunakan jadi alih fungsi ke transportasi tambang. Dan pada Tahun 1952 Kereta Saketi-Bayah-Rangkas non aktif. Sedangkan Rangkas-Labuan tutup pada 1982,” paparnya. (Sam)